Berita mengenai Pemutusan Hubungan Kerja massal yang dilakukan oleh perusahaan akhir-akhir ini kerap terdengar, terutama dalam 2 tahun terakhir seiring dengan berjalannya pandemi. Sebenarnya, apa PHK itu? Apakah PHK memiliki dasar hukum tertentu? Apakah karyawan yang di-PHK tidak mendapatkan tunjangan? Pertanyaan-pertanyaan ini kerap muncul ketika membicarakan Pemutusan Hubungan Kerja. Yuk, cari jawabannya di artikel ini!
Daftar Isi
TogglePengertian PHK
PHK merupakan singkatan dari Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh perusahaan kepada karyawannya. Ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, maka tidak ada lagi hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan sehingga seluruh kewajiban dan hak yang sebelumnya berlangsung antara kedua pihak tidak lagi berlaku.
Perusahaan dapat melakukan PHK karena berbagai sebab dan pertimbangan. Umumnya, pemutusan dilakukan karena kesulitan finansial dan dorongan efisiensi, pailit, pelanggaran tertentu oleh karyawan, dan lain-lain. Perusahaan bisa melakukan pemutusan secara sepihak, terutama apabila terdapat pelanggaran karyawan yang mendesak.
Dasar Hukum
Terdapat beberapa regulasi atau dasar hukum tertentu yang ditetapkan pemerintah dalam mengatur pemutusan, yakni:
- Bab XII Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Pasal 154A ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
- Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), waktu kerja dan istirahat, alih daya, serta PHK.
Prosedur PHK
Menurut UU No.11 tahun 2020 dan PP No.35 Tahun 2021, ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, perusahaan harus membuat surat pemberitahuan yang disampaikan secara sah dan layak pada karyawan dan/atau serikat buruh paling lambat 14 hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan Kerja. Apabila pemutusan dilakukan dalam masa percobaan atau probation, surat pemberitahuan harus disampaikan paling lambat 7 hari kerja sebelum pemutusan.
Langkah selanjutnya adalah apabila surat pemberitahuan telah diterima, karyawan dan/atau serikat buruh memiliki hak untuk menerima ataupun menolak pemutusan. Apabila karyawan menerima pemutusan, maka perusahaan wajib melaporkan pemutusan kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan/atau Dinas Tenaga Kerja di daerah. Apabila menolak, karyawan dan/atau serikat buruh harus membuat dan menyampaikan surat penolakan ke perusahaan paling lama 7 hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan pemutusan.
Karyawan yang menolak harus melakukan perundingan bipartit dengan perusahaan untuk mencapai kesepakatan. Bila tidak ada kesepakatan, maka penyelesaian harus dilakukan melalui mekanisme perselisihan hubungan industrial.
Cara Menghitung Pesangon PHK
Ketika perusahaan memberlakukan pemutusan, karyawan yang di-PHK berhak mendapatkan pesangon atau semacam uang tunjangan. Ketentuan pesangon ditentukan oleh peraturan serta ketentuan dari perusahaan itu sendiri. Misalnya, umumnya karyawan yang diputus hubungan kerja karena pelanggaran berat tidak akan mendapatkan pesangon dan hanya mendapatkan sejumlah uang retribusi tertentu yang sudah ditentukan di kontrak.
Biasanya, pesangon diberikan dalam satuan sekian bulan upah dan ditentukan berdasarkan masa kerja karyawan ketika di-PHK. Menurut Undang-Undang Cipta Kerja, berikut cara menghitung pesangon pemutusan hubungan kerja.
Masa Kerja | Jumlah Pesangon |
Kurang dari setahun | 1 bulan upah |
1 tahun atau lebih tetapi di bawah 2 tahun | 2 bulan upah |
2 tahun atau lebih tetapi di bawah 3 tahun | 3 bulan upah |
3 tahun atau lebih tetapi di bawah 4 tahun | 4 bulan upah |
4 tahun atau lebih tetapi di bawah 5 tahun | 5 bulan upah |
5 tahun atau lebih tetapi di bawah 6 tahun | 6 bulan upah |
6 tahun atau lebih tetapi di bawah 7 tahun | 7 bulan upah |
7 tahun atau lebih tetapi di bawah 8 tahun | 8 bulan upah |
8 tahun dan lebih | 9 bulan upah |
Berikut merupakan penjelasan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja yang dapat membantu Anda, khususnya HRD, mengenai kewajiban serta hak ketenagakerjaan.